Selasa, 11 Oktober 2011

Indonesia Green Awards: Proyek Dadakan

Suatu pagi, beberapa hari menjelang Tahun Baru, seorang lelaki tua mendatangi rumahku di kampung. Aku tak tahu namanya, hanya mengenal wajahnya. Demi amannya kupanggil dia Oom, panggilan andalanku bila tak mengenal hubungan kekeluargaan, umur, atau asal usul seorang lelaki di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Setelah berbasa-basi sejenak lelaki itu menatapku penuh harap sambil berkata, “Pak Max ada di rumah, Ibu?” Katanya menyebut nama suamiku. Aku menjelaskan bila Max biasa berada di kebun sebelum matahari terbit dan baru pulang sebelum makan siang.
“Apakah ada sesuatu yang penting, Oom?” tanyaku.
Sambil menggosok-gosokkan kedua tangan dia berkata sedikit ragu. “Saya punya tiga puluh koker pohon mahoni, kalau Pak Max bersedia, saya ingin menjualnya.” Tangannya melambai cepat-cepat begitu mulutku akan terbuka menjawabnya. “Tidak mahal, Bu. Hanya tiga puluh ribu saja. Pohon itu hanya saya dapat sebagai upah menurunkannya dari truk di rumah Kepala Desa.” Aku terdiam. “Nanti saya yang membawanya ke sini. Jangan khawatir.”

Mendapat penawaran bertubi-tubi begitu aku tak bisa segera menjawab. Secara pribadi aku tak suka pohon mahoni. Butuh waktu lama untuk memanfaatkannya, paling tidak 20 tahun baru bisa dirasakan hasilnya. Kalau aku menanamnya sekarang, berarti umur 50-an baru bisa memanennya. Dibanding dengan menanam akasia, kopi unggul atau jeruk pasti jauh bedanya. Cukup beberapa tahun sudah akan dirasakan hasilnya. Jadi, “Nanti saja, ya Oom. Tunggu Pak Max pulang.” Kataku sambil menatap Bapa Mertua yang juga duduk menemani sang tamu. Dari raut wajahnya, aku tahu lelaki tua itu juga sama sangsinya dengan diriku.
Tamuku segera pamit dengan wanti-wanti agar pesannya disampaikan pada Pak Max. Belum lagi langkahnya mencapai pagar halaman, orang yang ditunggu secara ajaib muncul dari arah kebun. Kontan saja mereka ramai tanya jawab dan saling tawar. Aku tak terlalu memperhatikan, sampai terdengar bunyi gedebug barang-barang diletakkan di sebelah tembok kamarku. Lalu….voila! Koker-koker plastik berisi bibit mahoni telah terjajar rapi disertai senyum si Oom saat melihatku.
“Berapa?” tanyaku pada Max. Dia menunjukkan tiga jarinya sambil berkomat-kamit mengatakan “Tiga puluh ribu” tanpa suara. Dan ternyata tak hanya 30 koker melainkan 60 koker.
Lalu selama dua hari dia menghilang ke kebun setiap pagi sampai senja untuk menanam 60 pohon mahoni yang dibelinya.
Tiga minggu berikutnya, suatu sore berhujan, Max membuka mantelnya yang basah kuyup dengan sigap. Tumben dia menyunggingkan senyum lebar walau pakaiannya basah kuyup terkena tempias air yang berhasil menyelusup ke balik jas hujannya.
“Apa?” tanyaku curiga. Dia membawa jas hujan ke bagian belakang rumah sehingga aku terpaksa mengikutinya sebab ingin tahu. “Pak Kepala Desa memberi kita 1000 pohon mahoni.”
How come?” tanyaku heran.
“Orang-orang tak mau menanamnya. Daripada terbuang percuma dia menyuruhku mengambil sebanyak yang kita mau.” Tentu saja bukan seribu pohon, kan? Yang benar saja! “Pokoknya sebanyak yang kita mau. Kalau memang mau seribu juga ada.” Jawabnya santai.
“Apa warga kampung tidak protes?”
“Kan aku sudah bilang, mereka menolak pohon itu.”
“Alasannya?”
“Tak punya lahan untuk menanamnya.”
Ternyata tak hanya pohon mahoni. Proyek yang aku tak tahu namanya dan dinas atau siapa yang mengadakan itu, menyediakan pula pohon suren. Jumlahnya aku tak tahu pasti. Menurut Max telah ditanamnya 326 pohon suren dan 120 mahoni di kebun kami di Tagol, 90 pohon di kebun Kius, dan sekitar 300 pohon di kebun kami yang terletak di Randong dan mungkin nantinya di daerah Ajang bila mengingat masih berpuluh koker yang tersisa.
Jadi mengapa warga desa menolaknya? Menurut omongan para tetangga ada tiga sebab: Pertama, lahan mereka memang tak mencukupi untuk menanam pohon. Semua telah ditanami dengan kopi, pisang, atau jeruk. Kedua, tanahnya memang sempit sehingga lebih diutamakan untuk rumah tinggal dan kebun kecil untuk menanam sayuran. Ini akibat fragmentasi tanah yang terus menerus seturut banyaknya keturunan. Ketiga, pohon-pohon tersebut membutuhkan waktu lama untuk memanennya, sehingga mereka enggan. Lebih baik untuk menanam ubi kayu, talas, atau ubi jalar yang bisa dijadikan bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terutama dalam kondisi musim yang tak menentu ini.
“Bukankah masih banyak kebun kosong yang belum ditanami?” tanyaku heran beberapa hari kemudian saat pulang ke kampung.
“Itu bukan kebun kami, Bu. Pemiliknya di luar kampung.” Jawab mereka.
Tak semua begitu, kan?
“Yah, kalau hanya ditanam di tengah ilalang tak akan hidup.” Jawab mereka.
Bukankah kebun-kebun itu bisa dibersihkan dan mulai ditanami.
“Ah, tenaga kami tak cukup. Kami hanya mengerjakan kebun yang sudah ada dan sebagai tambahan pendapatan ngo pala (kerja harian) di kebun orang lain yang membutuhkan.”
“Biarlah Pak Max mengambil bagian kami kalau dia memang sanggup menanamnya.” Kata mereka sambil tertawa. “Daripada mati kena hujan di dalam koker.”
Lho, berarti tujuan program tak terpenuhi. Seharusnya, menurutku karena aku juga tak tahu yang sebenarnya, program itu pasti semacam hutan rakyat yang menghijaukan lahan sekaligus menghasilkan secara ekonomis bagi tiap keluarga yang mendapatkan bibit. Jadi semua warga harus berperan serta seturut bagiannya. Memang, semua pohon itu akhirnya terserap juga untuk ditanam di wilayah desa kami, tapi jadinya yang menanam hanya sebagian orang saja. Tentu yang diuntungkan beberapa puluh tahun lagi hanya sebagian juga.
“Anggap saja tujuannya untuk turut serta menghijaukan bumi ini.” Kata Max. “Syukur-syukur kalau tumbuh semua sampai besar dan memberikan keuntungan.”
Mengapa begitu?
“Yah, karena kami dulu juga menanam pepohonan, tapi ada saja yang iseng dan tak suka sehingga mereka memotong pohon-pohon itu.” Mama mertua dan adik ipar yang bungsu berkata bersahutan.
Masa, sih?
“Ya, di kebun kita di Ajang itu buktinya. Mereka mungkin butuh kayu bakar dan sengaja menebangnya.”
Maka, walau dengan perasaan tak begitu optimis dari pihakku, kubiarkan proyek pribadi Max tetap dijalankan. Proyek dadakan aji mumpung. Mumpung hujan masih tercurah dari langit secara gratis untuk menyiramnya. Mumpung banyak bibit tanaman yang dihibahkan oleh tetangga kiri-kanan satu kampung. Mumpung masih ada kebun yang bisa ditanami. Dan mumpung masih dikaruniai kesehatan sehingga bisa menanam dengan tenaga sendiri tanpa perlu menyewa orang untuk mengerjakannya.
Bila hasilnya masih harus ditunggu lima belas atau dua puluh tahun lagi, anggap saja sebagai uang pensiun untuk dinikmati di hari tua. Tentu saja dengan disertai doa agar tak ada orang yang iseng menebangnya suatu hari dan semua dapat tumbuh dengan baik di tengah musim yang tengah gonjang-ganjing ini.

0 komentar:

Posting Komentar